SOALKAKITA, PALU – Peringati Hari Ulang Tahun Tani Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah meminta Kapolda Sulteng hentikan kriminalisasi terhadap petani.
Hal itu di sampaikan Eva Bande selaku Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah saat melakukan konferensi pers Jum’at (24/09) di sekretariat Jalan. Yojokodi Nomor 4 B Kota Palu.
Eva mengungkapkan, Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang hari ini eskalasi konflik agrarianmakin meningkat.Pasalnya, konsekuensi masuknya industri Pertambangan maupun Perkebunan Sawit mengakibatan konflik-konflik di Desa-desa makin mengakar.
Bahkan Belumlama ini, kata Eva, petani asal Batui Banggai mendatangi Gubernur Sulawesi, untuk meminta perlindungan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polres Banggai terhadap beberapa petani di Batui.
“ Bukan hanya itu, ada juga masyarakat asal Petasia Timur di tahan oleh Polres Morowali Utara setelah di laporkan oleh PT Agro Nusa Abadi. Kemudian, pada hari ini terdapat petani asal Kabupaten Buol yang di tahan di Polres Buol karena berkonflik dengan perusahaan PT Hardaya Inti Plantation,” ujarnya.
Ia menuturkan, sejak Kapolda Sulawesi Tengah yang baru menjabat, penetapan tersangka dan penangkapan-penangkapan terhadap petani jumlahnya makin meningkat.
“ Mengapa demikian, pihak kepolisian Daerah Sulteng mengabaikan surat telegram Kapolri yang secara esensial mejelaskan bahwa. Penyelesaian kasus konflik agraria di Indonesiaharus diselesaikan dengan cara-cara mediasi yang damai,” jelasnya.
Eva menegaskan, kami Front Advokasi Sawit (FRAS) yang tergabung dari beberapa organisasi masyarakat sipil menyerukan dan menyatakan sikap secarategas. Mengutuk cara-cara epresi intimidasi serta kriminalisasi kepada petani.
“Hentikan perampasan lahan petani dan pidanakan perusahaan yang merampas tanah-tanah petani. Kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dalam hal ini Gubernur Sulawesi Tengah, kami juga menyerukan segera membentuk tim penyelesaian konflik agrariayang independe di Sulawesi Tengah,” terangnya.
Lanjut ia, pada hari ini seluruh petani di Indonesia sedang penyambutan Hari Tani Nasional 2021 tepat pada tanggal 24 September 2021.
“ Akan tetapi petani di Indonesia yang terdapat di berbagai daerah memilih untuk turun ke jalan melakukan aksi protes atas kehidupan petani yang kian hari makin terhimpit oleh keberadaan para perusahaan skala besar, yang kini menguasai mayoritas lahan di Indonesia,” ungkapnya.
Hadirnya Perusahaan Berskala Besar Menindas Kehidupan Petani
Eva bilang, untuk diketahui bahwa Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 merupakan bentuk formil regulasi yang mempunyai semangat redistribusi lahan dari penguasaan lahan.
Namun dalam prakteknya Undang-Undang ini takluk dihadapan para perusahaan-perusahaan skala besar. Wujud nyata dari krisis Agraria di Indonesia adalah tidak dijalankannya reforma agrarian yang merupakan mandat dari konstitusi pasal 33 UUD 1945,TAPMPRNo.IX/2001dan UUPA 1960, hal Tersebut membawa Indonesia berada dalam jurang krisis agraria yang sangat Kronis.
“Indonesia telah terjadi penguasaan tanah secara baik oleh minoritas rakyat Indonesia, 68% tanah di Indonesia dikuasai oleh 1% penduduk, sementara 16,2 Juta petani hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar,” jelasanya.
Ia juga menambahkan, dari tahun ke tahun terjadi perubahan secara besar-besaraan konversi tanah, 650.000 hektar tanah pertanian setiap tahunnya telah terkonversi menjadi Kawasan industri, infrastruktur dan Kawasanbisnis.
Konflik agraria meledak dari tahun 2015–2020 akibat akumulasi perampasan tanah baru dengan konflik-konflik agraria lama yang tidak kunjung diselesaikan. Para pejuang agraria di Indonesia semakin rawan menghadapi intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi dalam memperjuangkan hak atas tanah masyarakat.
“ Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2015 –2020 terjadi 2.288 ledakan konflik agrarian,mengakibatkan 1.437 orang di kriminalisasi, 776 dianiaya, 75 tertembak, 66 tewas di wilayah konflik agrarian,” pungkasnya.